Kredit: Subhan Mustaghfirin
FB Tamadun Melayu Masa Lampau
--Lima Ksatria Bugis Penakluk Lautan--
Ketika Belanda berhasil menaklukan Makassar pada tanggal 18 November 1667 dan memonopoli perdagangan, banyak orang Makassar dan Bugis yang keluar meninggalkan negerinya dan berhijrah ke Negeri-negeri Melayu.
Belanda membuat perjanjian dengan Raja-raja Melayu supaya mengantar hasil bijih timah ke Malaka dan akan membelinya dengan harga yang murah sehingga Belanda mendapat keuntungan yanf berlimpah.
Dasar inilah menjadi alasan orang2 Bugis di anggap sebagai lanun/ perompak karena mereka sering menyerang kapal-kapal Belanda dan Inggris dan merampas barang2 tersebut yg dibeli dg harga murah.
Orang-orang Sulawesi yang berhijrah ke tanah Melayu terdiri dari gabungan suku to’Ugi (Bugis) dan to Mangkasara (Makassar). Mereka mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi dikenali “siri” yang terbagi menjadi tiga yaitu;
1. Siri Emmi Ri Onroang Ri Lino – bermaksud sesorang itu akan berarti hidupnya jika dia mempunyai harga diri.
2. Mate ri sirina – Jika seseorang itu mati dalam menegakkan martabat diri maka ia dianggap sutu hal yang terpuji
3. Mate siri – iaitu orang yang telah hilang martabat atau harga diri dianggap sebagai mayat hidup
Mereka juga mengamalkan tiga prinsip ‘hujung’ yaitu : hujung keris, hujung lidah dan hujung anu (kemaluan).
Dalam hal ini Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara telah memainkan peranan penting dalam pergolakan politik di Negeri-negeri Melayu pada abad ke-18.
Negeri-negeri melayu yang menerima secara langsung kehadiran Opu Bugis Lima Bersaudara ialah Kalimantan, Johor, Selangor, Kedah, Linggi dan Perak.
Opu Bugis Lima Bersaudara adalah putera Daeng Opu Tendribureng Rilaga Relakkek (Ayah) yang menikah dengan Puteri We Tenrilallo Arung Liu (Ibu). Merupakan keturunan Raja Bugis pertama yang memeluk Islam, merupakan kerabat raja Bugis-Luwu di Sulawesi Selatan.
Lima Bersaudara terdiri daripada
1. Daeng Parani,
2. Daeng Menambun,
3. Daeng Marewah,
4. Daeng Chelak dan
5. Daeng Kemasi.
Mereka bersama ayahnya Daeng Rilakkek berlayar ke seluruh Kepulauan Nusantara dari To Pammana ke Bone di Sulawasi hingga ke Pulau Jawa di Batavia.
Persinggahan ini dengan maksud untuk menemui adik kandung ayahnya yang bernama Opu Daeng Biasa yang ketika itu merupakan pemimpin bagi orang-orang Bugis disana. Daeng Biyasa memberikan bantuan modal, perahu dan segala perlengkapan untuk berniaga.
Maka berangkatlah Opu Daeng Ri Lakkek beserta lima Opu Daeng, ke Negeri Segantang Lada di Pulau Siantan di tengah laut China Selatan guna menjalankan perdagangan bersama Nakhoda Alang.
Disini mereka menemui seorang penguasa Pulau Siantan yang bernama Karaeng Abdul Fattah yang juga berasal dari tanah Bugis. Mereka sering diserang lanun/ perompak namun mereka dapat mengalahkannya.
Kehebatan mereka akhirnya tersebar luas di seluruh Semenanjung Melayu, Sumatera dan Kalimantan. Daeng Parani anak yang sulung telah menikah dengan anak Nahkoda Alang dan dikurniakan anak Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Muda 3).
Mereka kemudian belayar ke Kamboja (Kampuchea atau Champa). Semasa di Kamboja mereka telah memenangi laga Ayam dengan anak Raja Minangkabau (Raja Chulan) dan dihadiahi satu Keci (kapal besar).
Kemudian mereka belayar kembali ke Siantan dan Daeng Rilakkek wafat dalam perlayaran. Saat ke kepulauan Siantan (disebelah timur Johor), Keci dipecahkan dan kayunya dijadikan 6 buah kapal perang dilengkapi meriam dan boleh di muati 40 orang.
Selama berada di Siantan, Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara telah menerima undangan dari Sultan Sulaiman di Johor yang sedang bergolak merebut tahta kerajaan. Tetapi sebelum ke Johor Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara telah menerima jemputan Kerajaan Matan di Kalimantan (Indapura).
Kerajaan Matan (Indapura) sedang menghadapi konflik perebutan tahta antara Sultan Muhammad Zainuddin dengan adiknya sendiri Pengiran Agong.
Sultan Zainuddin lari ke Banjar dan merancang serangan dengan Sultan Tahmidullah, Sultan Banjar untuk menyerang balik adiknya Pengiran Agong.
Sultan Zainuddin juga telah mengutus surat memohon pertolongan kepada Opu Daeng Menambun (putra ke 2) yang pada masa itu berada di Siantan.
Sultan Zainuddin melakukan serangan terhadap Pangiran Agong dan gagal
menyebabkan pasukannya terdesak mundur dan dia lari berlindung ke dalam Masjid dan dikurung di dalam masjid selama lebih kurang 5 bulan.
Beliau berhasil dilepaskan dengan pertolongan Opu Daeng Menambun beserta adik beradiknya. Sultan Zainuddin di bawa semula ke Banjar bertemu Sultan Tahmidullah yang juga dalam usaha untuk menyelamatkan Sultan Zainuddin.
Akhirnya Sultan Zainuddin dan keluarga dan pengikut-pengikutnyanya kembali menuju ke Matan diikut sama Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara.
Ketika sampai Kuala Kandang Kerbau, salah satu daerah di bawah kerajaan Matan, Sultan Zainuddin ingin membalas jasa Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara dengan menawarkan anaknya Puteri Kesumba untuk dinikahkan dengan salah satu dari Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara. Akhirnya Daeng Menambun dinikahkan dengan puteri Puteri Kasumba.
Dengan bantuan Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara akhirnya Pangiran Agong berhasil dikalahkan dan ditahan dalam kurungan yang bersama sama tiga puluh orang perempuan.
Sultan Zainuddin ingin membalas lagi jasa Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara dengan menawarkan wilayah jajahannya tetapi ditolak oleh karena mereka ingin segera ke Kerajaan Johor. Tengku Sulaiman Sultan Johor juga memerlukan bantuan Mereka
Kemudian Sultan Umar Aqamuddin 1 Sultan Kerajaan Sambas menjemput mereka, terutama Daeng Menambun untuk dinikahkan dengan Puterinya Raden Tengah.
Bagaimana pun Daeng Menambun menolak karena telah beristeri dan menawarkan adik bungsunya Daeng Kamasi dan disepakatilah pernikahan itu.
Mengingat usia Sultan Zainuddin yang sudah semakin tua, diputuskanlah untuk segera mencari siapa penerusnya dan diputuskanlah bahwa yang menjadi raja selanjutnya adalah Pangeran Mangkurat yang merupakan putra dari Sultan Zainuddin.
Sedangkan Opu Daeng Menambon di anjurkan untuk berlayar ke Senggaok (hulu Sungai Mempawah), tempat asal mula istri Sultan Zainuddin, Mas Indrawati.
Berangkatlah Opu Daeng Menambon beserta istrinya, mertua, nenek dan pengikutnya menuju ke Mempawah dengan menggunakan 40 buah perahu.
Akhirnya pada tahun 1737 Daeng Menambun dinobatkan oleh Sultan Zainuddin (Matan) sebagai Raja di Mempawah yang dipusatkan di Sebukit Rama dengan gelaran Pangiran Emas Seri Negara.
Dimasa kepemimpinan beliau juga lah datang seorang guru agama Islam terkenal bernama Syayid Habib Husein Al Qadry yang membuat agama Islam semakin berkembang di Mempawah.
Opu Daeng Kemasi adik yang paling bungsu dinikahkan dengan putri Dultan Umar Aqamudin 1 yaitu Raden Tengah dan dilantik sebagai Pembesar Kerajaan Sambas dengan gelaran Pangeran Mangkubumi.
Adapun Sultan Sulaiman telah menjemput Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara ke Johor Riau untuk membantunya menyingkirkan Raja Kechil yang mengambil alih tampuk kekuasaan.
Dikisahkan setelah wafatnya Sultan Mahmud Mangkat Dijulang yang dibunuh oleh Megat Seri Rama pada 3 Sept 1699, tanpa pewaris terdekat menyebabkan pembesar Kesultanan Johor melantik Bendahara Tun Abdul Jalil sebagai Sultan Johor (1699-1718).
Pasca pelantikan, Johor bergolak dan muncul suasana saling curiga-mencurigai. Pada kesempatan ini Raja Kechil dari negeri Pagaruyung yang mengaku sebagai Putera Sultan Mahmud Mangkat Dijulang telah mengambil alih pemerentahan Johor (1718-1722) setelah membunuh Bendahara Tun Abdul Jalil.
Oleh itu anak2 Sultan Abd Jalil, Tungku Sulaiman dan kakaknya Tengku Tengah meminta bantuan Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara.
Akhirnya terjadilah pertarungan antara Raja Kechil dengan Opu Daeng bersaudara Setelah bertempur sehari semalam, Raja Kecil terdesak dan mundur hingga berpangkalan di Pulau Bayan. Sementara itu, orang Bugis menyerang terus sambil berpangkalan di Tanjung Pinang.
Lima Opu Daeng berhasil merebut Pulau Bayan setelah bertempur lagi dua hari dua malam dan Raja Kecil melarikan diri ke Linggi dengan membawa serta keseluruhan Alat Kebesaran Kesultanan Melayu Johor seperti bedil Lela Majnun, Kendaga Emas, Periuk Emas, dan semua barang-barang berharga.
Dalam usaha untuk mengambil semula Alat Kebesaran dan memerangi Raja Kechil, Satu perjanjian dicapai di antara Tengku Sulaiman dengan Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara.
Diantara perjanjian itu adalah jika Raja Kechil dikalahkan dan keseluruhan alat kebesaran dan lain lain dapat dibawa kembali ke Johor maka
“Sebelah Tengku Sulaiman menjadi Sultan Johor sampailah kepada turun temurunnya dan sebelah Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara akan dilantik menjadi Yang Dipertuan Muda sampailah kepada turun temurunnya dan tiada boleh yang lain. Dan lagi Sultan menjadi seperti perempuan sahaja, jika diberi makan maka baru makan ia. Dan Yang Dipertuan muda jadi seperti lelaki, dan jika datang satu hal atau apa2 jua bicara melainkan apa kata Yangtuan Muda”.
Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara sekali lagi menyerang Raja Kechil di Siak. Setelah berhasil merebut alat kebesaran tersebut, Raja Sulaiman kemudiannya ditabalkan sebagai Sultan Johor dengan membawa gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah yang memerintah Johor, Pahang, Riau, dan Linggi pada 4 Oktober 1722.
Setelah penobatan Sultan Sulaiman sebagai Sultan Johor-Riau, dilakukan jugalah pelantikan terhadap Opu Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuankan Muda I. Dalam penobatan tersebut juga dilakukan sumpah setia antara Melayu dan Bugis.
Opu Daeng merewa memiliki gelar Kelana Jaya Putera dan memiliki seorang istri bernama Tun Cik Ayu. Masa jabatan Opu Daeng Marewah sebagai Yang Dipertuankan Muda I Johor-Riau dimulai 1721 M hingga 1728 Masehi.
Setelah Opu Daeng Marewah wafat, Opu Daeng Celak diangkat menjadi Yang Dipertuankan Muda II Johor-Riau. Opu Daeng Celak merupakan panglima perang yang berani dan pandai dalam mengatur strategi sehingga disaat pemerintahan beliau daerah Johor-Riau semakin disegani.
Adapun awal mula penguasaan Bugis di Selangor ialah ketika Johor melalui wakilnya di Klang yaitu Tok Engku Klang, kerabat Sultan Abdul Jalil Riayat Shah Johor, memberi izin kepada Yang Tuan Muda Bugis untuk bergerak bebas di Selangor terutama nya di kawasan Kuala Selangor (1700).
Semenjak dari itu, Selangor kemudiannya dijadikan pusat penggemblengan tenaga hulubalang Bugis serta menjadi tempat pertahanan kuat orang Bugis.
Dalam usaha Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara untuk menewaskan Raja Kechik, mereka singgah ke Selangor untuk mengumpulkan orang Bugis dengan tiga puluh buah perahu perang untuk menyerang Riau.
Salah satu keturunan Opu Daeng Bersaudara yaitu putra Daeng Chelak, yaitu Raja Lumu telah mendirikan Kesultanan Selangor dan beliau sendirilah yang menjadi Sultan Selangor dengan gelar Sultan Salehuddin. Sebelum itu beliau hanyalah Yang Dipertuan Selangor.
Semasa Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara berada di Selangor, Raja Kechil telah berhasil menguasai kembali Riau. Daeng Menambun dan adik-beradiknya segera mengatur strategi untuk mengalahkan Raja Kechil.
Mereka mengawali peperangan di Linggi salah satu daetah di bawah kekuasaan Raja Kechil. Linggi dikalahkan oleh pasukan Daeng Menambun.
Akibatnya, penghulu Linggi mengirim surat kepada Raja Kechil “Jika tiada lekas duli tuanku berangkat ke Linggi membantu akan patik-patik semua nescaya adalah negeri Linggi ini dan patik semua pun bertuankan Bugislah”
Selepas Raja Kechil menerima surat tersebut, baginda bersama sama angkatan tentera belayar dan menuju ke Linggi. Selepas pasukan tersebut sampai di Linggi, mereka membangun pertahanan untuk melawan pasukan Daeng Menambun.
Akhirnya, peperangan di antara pasukan Daeng Menambun dan Raja Kechil terjadi pada keesokkan harinya, peperangan tersebut berlangsung seperti biasa.
Pasukan Daeng Menambun dan adik-beradiknya menjalankan strategi yang dirancang yaitu mengundurkan dua puluh buah perahu perang ke kuala secara perlahan-Iahan.
Pasukan yang menjalankan strategi tersebut adalah pasukan Daeng Parani, Daeng Marewah dan Daeng Chelak. Adapun pasukan Daeng Menambun dan Daeng Kemasi diberi arahan oleh Daeng Parani untuk menyerang pasukan Raja Kechil dari arah sini.
Selepas Raja Kechil melihat keadaan tersebut, baginda menyatakan bahawa “Hendak tewas Bugis itu. Ikut olehmu perlahan-Iahan biar ia lari sekali berambus daripada pihak sebelah Johor ini”.
Peperangan tersebut berlangsung sehingga malam dan strategi tersebut berhasil dilaksanakan. Keadaan tersebut menyebabkan Raja Kechil dan angkatan tentera baginda bersorak.
Raja Kechil menyatakan bahawa “Pada kira kira aku, esok hari kita berperang, pada rasa-rasa aku segala Bugis-Bugis yang tinggal di dalam perahu yang sepuluh buah dan di dalam kubu itu pun tentu dia hendak tunduk kepada kita jua kerana apa sebab jikalau ia bersama-sama dengan upu-upu itu, tentulah ia hilir bersama-sama tadi. Jikalau begitu janganlah kita apa-apakan dahulu mana yang tinggal”.
Pada keesokkan harinya, kemenangan tidak berpihak kepada pasukan Raja Kechil kerana dikalahkan oleh Daeng Menambun dan Daeng Kemasi bersama-sama angkatan tentera Bugis.
Ini disebabkan Raja Kechil ditipu oleh strategi Daeng Parani, Daeng Menambun dan adik-beradiknya. Pasukan Raja Kechil dikalahkan dan mengundur diri ke kerajaan Siak.
Sementara Raja Kechil mengundurkan diri, penghulu Linggi menyatakan kepada anak buahnya “Pasanglah oleh kamu semua bendera putih tanda kita tunduk kepada Bugis bagi mengelakkan peperangan yang akan membawa kerusakan harta benda dan keluarga”.
Penghulu Linggi berjumpa dengan Daeng Menambun dan Daeng Kamasi bahawa mereka akan taat setia kepada Opu Bugis Lima Bersaudara.
Ketika Opu Daeng Parani berada di Selangor, sepucuk surat dikirimkan kepadanya daripada Sultan Muhammad Jiwa Zainal Adilin Muadzam Shah II (1710 -1778 M),
Sultan Kedah tua di mana takhta baginda dirampas oleh adindanya, Raja Nambang Sultan Kedah Muda. Opu Daeng Parani setelah berbincang dan bermusyawarah dengan adik beradiknya serta mendapat kebenaran dari Sultan Sulaiman, akhirnya bergerak menuju ke Kedah diiringi oleh semua adik beradiknya.
Selepas tiba di Kedah, satu perjanjian diadakan yaitu, jikalau menang dengan pertolongan Opu Bugis Daeng Lima Bersaudara, Sultan Muhammad Jiwa menjanjikan hadiah “Lima Belas Bahara ringgit”.
Pihak Sultan Muhammad Jiwa II dan orang Bugis akhirnya berhasil memenangi pertempuran melawan Raja Nambang pada tahun 1723 tersebut dan dalam perang saudara pertama ini, Opu Daeng Parani dinikahkan dengan Tunku Aishah, saudara Sultan Muhammad Jiwa II sendiri.
Namun pada tahun 1724 M, perang saudara tercetus sekali lagi antara Sultan Muhammad Jiwa II dengan Raja Nambang di Kedah.
Dalam perang kali kedua ini, Raja Nambang meminta bantuan dari Raja Kechil dari Siak manakala Sultan meminta bantuan daripada opu-opu Bugis lima beradik tersebut.
Peperangan kali ini berlaku dengan sangat sengit sekali di mana pada siangnya, kubu Raja Kechil dapat ditawan oleh Opu Daeng Parani sehingga Raja Kechil sendiri terjun ke dalam parit pertahanan lawan untuk menyelamatkan diri.
Pada malam harinya, Raja Kechil dan tenteranya berhasil menguasai kubu pertahanan lawan tersebut.
Pihak Bugis menggunakan kapal ghurab untuk menyerang kedudukan Raja Kechil maka menurut Tuhfat al Nafis, ketika dalam pengepungan tersebut, Opu Daeng Parani sedang berada di atas beranda kapal ghurab tersebut dan mengarahkan tenteranya untuk membedil kubu Raja Kechil dengan meriam.
Maka dalam ketika itu dengan takdir Allah, pihak musuh dengan meriam mereka berhasil menembak Opu Daeng Parani dan bola meriam tersebut tepat kena pada dadanya.
Opu Daeng Parani terkorban akibat tembakan meriam tersebut. Jenazah Opu Daeng Parani akhirnya dimakamkan di Kampung Ekor Lubuk, Sidam Kiri, Sungai Petani di Kedah Darul Aman.
Sementara sepucuk surat daripada Raja Muda Perak yang bernama Raja Inu diutuskan kepada Yang Dipertuan Muda Opu Daeng Marewah untuk meminta bantuan supaya dapat menggulingkan pemerintahan Sultan Alauddin Mughayat Shah (1720 -1728).
Pada tahun 1728 itulah, Opu Daeng Marewah dan tenteranya dari Selangor bergerak menuju ke Bernam untuk menyerang pusat pemerintahan Sultan Perak pada masa itu di Geronggong (berhampiran Kampung Gajah kini).
Walaupun Geronggong berhasil ditawan oleh Opu Daeng Marewah, perjanjian damai telah dibuat di antara kedua pihak dan pada tahun sama juga, baginda Sultan Alauddin Mughayat Shah mangkat.
Raja Inu ditabalkan sebagai Sultan Perak dengan gelaran Sultan Muzaffar Shah III. Baginda Sultan Muzaffar Shah III ini kelak ditentang oleh Raja Mudanya sendiri yang mendapatkan bantuan Bugis, seperti apa yang baginda lakukan
terhadap sultan sebelumnya.
Pada 7 September 1740 Masihi, Opu Daeng Chelak berada di Selangor dan mendapat sepucuk surat yang diutus daripada Raja Muhammad Shah (Raja Muda Perak) yang meminta Yang Dipertuan Muda berketurunan Bugis tersebut menolong pihaknya merampas takhta daripada Sultan Muzaffar Shah III (Raja Inu).
Opu Daeng Chelak kemudian mengumpulkan serta membawa angkatan tentera Bugisnya dari Selangor menuju ke Perak untuk membantu Raja Muda tersebut serta menyambung kembali peranan Opu Daeng Marewah yang pernah terlibat dalam Perang Saudara Perak sebelum itu.
Peperangan terjadi di antara pihak Sultan Muzaffar III dan Raja Muda Muhammad Shah dan setelah beberapa lama, pihak Raja Muda menang dalam pertempuran tersebut dan Sultan Muzaffar III berundur ke Sayong.
Opu Daeng Chelak bersama para pembesar Perak lainnya menyokong dan menabalkan Raja Muda Muhammad sebagai Sultan Perak keempat belas,dengan gelaran Sultan Muhammad Shah (1744 – 1750).
Kesultanan Perak pada masa tersebut berpecah kepada dua. Namun Sultan Muhammad Shah kemudiannya berbaik semula serta menyerahkan kedudukan baginda kepada Sultan Muzaffar III selepas Opu Daeng Chelak pulang ke Riau pada tahun 1745.
Rujukan rujukan;
1. Kitab Tuhfat an-nafis
2. Salasilah Melayu dan Bugis Raja Ali Haji
3. Winstedt R.O (1934), A History of Selangor, JMBRAS. Vol.XII, Pt, III, h. 3
5. Jelaskan Pengaruh Bugis Di Negeri Negeri Melayu Pada Abad ke 15 – Amirah Hamzah
6. Lima OPU Daenghttp://blog.unm.ac.id/diancahyadi/tulisan-saya/lima-opu-daeng/
Copy and paste: 29 Februari 2020 / 5 Rejab 1441H : 4.51 am
4 comments:
Naskah pembanding tentang sejarah Opu Lima bisa dicermati pada silsilah (stamboom) yang ditulis pada bulan januari 1855 oleh T.J. Willer, Residen Belanda yang dimuat dalam buku Bleeker et.al (1855) dalam Tidschrift voor Indische Tall Land en Volkenkunde pada halaman 411 dengan sub-judul “Stamboom der onderkoningen van Riouw”. Susunan silsilah dimulai dari yang paling atas adalah Raja Bone (Koning van Boni) lalu tingkatan berikutnya turun ke anak-anaknya yaitu Raja Bone (Koning van Bone) dan Upu Prins van Bone (Pangeran Bone) yang kemudian turun ke level berikutnya adalah Daeng Marewa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I (paling kiri), lalu Daeng Parani (di tengah) dan Daeng Pali sebagai Yang Dipertuan Muda II (paling kanan). Generasi berikutnya adalah anak daeri Daeng Parani yaitu Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III, kemudian anak dari Daeng Pali yaitu Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV lalu kembali ke anak Daeng Kamboja yakni Raja Ali sebagai Yang Dipertuan Muda Riau V. Setelah ini, keturunan Daeng Pali yang lanjut meneruskan trah Bugis Bone di Kerajaan Lingga Riau. Dalam buku Belanda lainnya tahun 1870 disebut nama Daeng Cella’ (Chelak) sebagai nama lain dari Daeng Pali. Baca lengkapnya di https://www.sapripamulu.com/2020/08/jejak-raja-bone-di-kerajaan-riau-lingga.html
Terima kasih berkongsi ilmu sejarah
you're most welcome :)
Terima kasih
Post a Comment