Wednesday, 26 December 2018

M E N C I U M H A J A R A S W A D

Suatu hari, di Masjidil Haram, setelah habis menyelesaikan tawaf, saya segera ketepi mencari tempat strategik yang berhadapan betul-betul dengan Multazam untuk berdoa.

Saya menemukan tempat yang kebetulan kosong di hadapan Kaabah. Lalu saya bersimpuh dan memanjatkan doa sambil menunggu waktu Subuh menjelang.

Saat itulah saya melihat seorang lelaki hitam legam dari benua Afrika datang dan langsung mengambil tempat di sisi kanan.

Terlintas dalam hati, "Dengan potongan perawakan dan tampan seperti ini, lelaki kulit hitam ini biasanya orangnya kasar yang tidak berpendidikan".

Lalu sebagaimana kebiasaan di masjid ketika duduk bersebelahan dalam satu jamaah, saya menghulurkan salam kepadanya.

Tiba-tiba dia bertanya dalam bahasa Inggeris yang bagus sekali tentang asal saya.

"Saya dari Nigeria, kamu dari mana?" Saya jawab, saya berasal dari Malaysia .

"Kenapa orang Malaysia suka sekali berusaha mencium batu Hajar Aswad?" tanyanya memulai percakapan.

"Mungkin kerana cinta. Kaabah adalah rumah Allah, dan Hajar Aswad adalah batu yang pernah dicium Rasulullah (s.a.w). Maka mencium Hajar Aswad adalah refleksi cinta orang Malaysia terhadap Allah dan RasulNya", jawab saya secara ringkas.

"Apakah orang Malaysia juga bertingkah laku seperti itu terhadap cinta Allah yang dianugerahkan kepada mereka?" tanyanya.

"Maksud anda? Cinta Allah seperti apa yang dianugerahkan kepada kami?", jawab saya dengan bingung.

Lalu lelaki berkulit hitam itu menjawab, "Jika Allah menganugerahkan kalian isteri, anak-anak dan orang tua yang masih hidup, itulah wujud cinta Allah kepada kalian."

"Pertanyaan saya", katanya, "Apakah orang-orang Malaysia, berusaha dengan keras dan gigih mencurahkan kasih sayang terhadap anak, isteri dan orang tua mereka yang masih hidup yang diamanahkan Allah sebagaimana mereka berusaha mencium Hajar Aswad?"

"Jika terhadap batu saja refleksi cinta kalian begitu dahsyat, lebih lagi terhadap makhluk Allah yang telah diamanahkan kepada kalian?", tegasnya lagi.

Saya tercengang, hilang akal dan tak mampu berkata-kata lagi.

Apalagi saat ia bercerita bahawa ia menyelesaikan PhD nya di Harvard University, USA, kemudian ditawar pekerjaan dan jawatan tinggi di sana, namun memilih untuk pulang membesarkan anak-anaknya yang 6 orang, agar mampu menjadi Muslim yang baik.

Maka hancurlah semua persangkaan saya terhadap orang ini. Allah membayarnya terus secara tunai saat itu juga.

Setelah solat Subuh, sebelum berpisah, dia memberi nasihat yang sampai saat ini masih teringat di kepala saya.

"Kejayaan haji atau umrah kita, mabrur atau tidaknya, dinilai bukan pada saat kita menyelesaikan perbuatan-perbuatan haji atau umrah, seperti tawaf atau bahkan mencium Hajar Aswad, namun dinilai pada saat kita kembali"

"Apakah kita mampu menunaikan amanah-amanah, anugerah-anugerah, cinta dan kasih sayang Allah kepada kita dengan bersungguh-sungguh, bersusah payah, mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang kita cintai, pekerjaan dan masyarakat".

Saya genggam tangannya, saya memeluknya dengan erat dan menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam.

Saat dia pergi dan hilang di antara kerumunan orang, saya faham, inilah cara Allah menegur saya dan menyampaikan makna mencium Hajar Aswad.

Saudara saudariku tercinta

Semoga Allah selalu menjaga hati dan fikiran kita agar selalu lembut dan jernih, hingga dapat menangkap pesan-pesan Ilahiyah yang sangat halus.

Tulisan asal,
(Tidak bernama)
Copy and paste: Whatsapp Group Siti Hawa's Family
26.12.2018: 8.12 pm

No comments: