Friday 14 July 2017

PENGERTIAN IJMA'

A.      PENGERTIAN IJMA'
Ijma' (الِإجْمَاعُ) adalah mashdar (bentuk) dari ajma'a (أَجْمَعَ) yang memiliki dua makna:
1)   Tekad yang kuat (العَزْمُ المُؤَكَّدُ) seperti: أَجَمَعَ فُلَانٌ عَلَى سَفَرٍ  (sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).
2)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) seperti: (أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى كَذَا) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.
Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:
اتِّفَاقُ مُجْتَهِدِيْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ فِيْ عَصْرِ مِنَ العُصُوْرِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأُمُوْرِ
"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula". (lihat Irsyadul Fuhul: 71).
Menurut definisi diatas, kandungan dasar pokok Ijma' antara lain:
1)      Kesepakatan (الاتِّفَاقُ) artinya kesatuan pendapat, baik ditujukan oleh perkataan atau dengan sikap.
2)   Para Mujtahid (المُجْتَهِدُوْنَ). Ijtihad adalah kemampuan yang dimiliki oleh orang yang alim (berilmu) untuk mngistinbatkan (menetapkan) hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya. Sehingga yang dituntut dari seorang mujtahid adalah pengarahan kemampuan secara maksimal dalam menetapkan ketentuan hukum.
3)      Ummat Muhammad yang dimaksud adalah ummat ijabah (ummat yang menerima seruan dakwah Nabi saw).
4)      Setelah wafatnya Nabi saw, sehingga kesepakatan kaum muslimin ketika beliau hidup tidak disebut ijma'.
5)      Didalam satu masa tertentu artinya kesepakatan yang terjadi pada masa kapan saja.
6)      Pada perkara-perkara tertentu yaitu perkara-perkara syar'i atau perkara-perkara yang bukan syar'i tetapi memiliki hubungan dengan syari'at (lihat, Ibhaj fi Syarh Minhaj: 2/349).

B.      IJMA' MERUPAKAN SEBUAH DALIL
Jumhur ulama' berpendapat bahwa Ijma' adalah dalil dan hujjah syar'i (dasar hukum syari'at).
Allah swt berfirman:
Artinya:"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (QS. An Nisaa': 115).
Sesungguhnya ayat ini menjadi dalil bahwa Ijma' ummat ini adalah hujjah yang terpelihara dari kesalahan. Dasar pemikiran tersebut adalah dikarenakan Allah swt mengancam orang yang menyelisihi jalan kaum mukminin dengan kehinaan dan api neraka. Sabilul Mu'minin (jalan orang-orang yang beriman dalam ayat diatas) berbentuk tunggal mudof (disandarkan) mencakup seluruh hal yang dianut oleh orang-orang beriman, baik berupa aqidah maupun amal perbuatan. Apabila mereka sepakat untuk mewajibkan, menganjurkan, mengharomkan, memakruhkan atau membolehkan sesuatu, maka ini adalah jalan mereka. Dan barangsiapa yang menyelisihinya, setelah tercapainya kesepakatan mereka, maka ini berarti ia mengikuti jalan selain jalan mereka.
Allah swt berfirman:
Artinya:"Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian". (QS. Al Baqarah: 143)
Apabila mereka bersaksi tentang satu hukum, bahwa Allah swt telah memerintahkan suatu hal, melarang ataupun membolehkannya, maka persaksian mereka adalah ma'shum (terpelihara dari kekeliruan), karena mereka adalah orang-orang yang alim (berilmu) tentang apa yang mereka persaksikan dan adil dalam persaksian mereka.
Apabila Allah swt menjadikan mereka sebagai saksi, maka berarti mereka tidak bersaksi dengan yang bathil. Dan apabila mereka bersaksi bahwa Allah swt memerintahkan sesuatu, maka Allah pasti telah memerintahkannya. Dan apabila mereka bersaksi bahwa Allah melarang sesuatu, maka Allah pasti melarangnya". (lihat Majmu' Fatawa: 19/177).
Rasulullh saw bersabda:
"إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ"
"sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama'ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka". (HR. Tirmidzi: 2168).

C.       IJMA' BERSANDAR PADA AL-QUR'AN DAN SUNNAH
Madzhab jumhur ulama' menyatakan bahwa Ijma' wajib bersandar kepada dalil. Hal itu dishahihkan oleh sebagian ahli ilmu, bahkan Al-Amidy pun menyatakan adanya kesepakatan ulama' tentang  hal tersebut dan beliau tidak menghiraukan orang yang berbeda dengan pendapatnya tersebut. Dan jumhur ulama' pun menyatakan bahwa dalil yang dijadikan sandaran juga bersifat Qath'y (landasan hukum yang mutlak), baik dari Al-Qur'an atau Sunnah Mutawatir serta yang bersifat Dzanny (landasan hukum yang tidak mutlak), seperti hadits ahad dan lain-lain. (lihat Majmu' Fatawa: 19/169).

D.      FAEDAH IJMA'
Para ulama' berbeda pendapat tentang faidah Ijma', apakah memberi faidah yang qath'y atau dzanny. Dalam masalah ini ada tiga (3) pendapat yang kuat, yaitu:
1)      Ijma' adalah hujjah qath'y. Al-Ashfahani berkata: inilah yang masyhur.
2)      Ijma' tidak memberi faidah kecuali dzanny saja, baik sandarannya bersifat qath'y atau dzanni.
3)      Ijma' yang disepakati oleh ulama' mu'tabar (diakui kualitas keilmuannya), maka dianggap qhat'y sedangkan Ijma' yang tidak disepakati seperti Ijma' Sukuti yaitu Ijma' yang penetapannya tidak ditetapkan dengan tegas, maka dinilai dzanni. Inilah pendapat yang tepat, sebagaimana yang dipilih oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. (lihat Majmu' Fatawa: 7/39).

E.       HUKUM MENYALAHI IJMA'
Hukum bagi orang yang tidak mengakui atau menyalahi Ijma' sebagai sebuah dalil terbagi dalam dua (2) golongan:
1)      Orang yang mengingkari kehujjahan (dalil) Ijma'. Sebagian ulama' menganggap orang ini kafir. Pengarang Kasyful Asyrar berkata: barang siapa yang mengingkari Ijma', maka berarti ia membatalkan seluruh agamanya. Karena paras Ushuluddin (dasar agama) dan sumber rujukannya adalah Ijma' kaum muslimin. (Kasyful Asyrar: 3/266).
Akan tetapi sabagaimana telah dimaklumi bahwa Ushuluddin dan paras utamanya adalah pada Al-Qur'an dan Sunnah. Sedangkan dilalah (dalil) nya menurut kebanyakan para ulama' atas dasar Ijma', baik dzanni maupun qath'i, karena hal tersebut bukanlah sesuatu yang disepakati. Untuk itu orang yang mengingkari dalil Ijma' tidak dianggap kafir, akan tetapi hanya dianggap pelaku bid'ah atau fasiq.
2)      Orang yang menyalahi suatu hukum yang ditetapkan atas dasar Ijma'. Hal ini memiliki tiga tingkatan:
a.       Hukum yang telah diketahui secara pasti dalam agama. Semuanya telah menjadi Ijma' baik bagi orang awam maupun orang khusus (ulama'), seperti keesaan Alloh swt, Rububiyah-Nya. Allah satu-satunya yang berhak diibadahi, kenabian Muhammad saw sebagai penutup para Rasul. Nash-nash yang menunjukkan terjadinya hari qiyamat, hari pembalasan, hari kebangkitan, hari perhitungan, jannah dan neraka, ushul-ushul syari'at dan ibadat seperti sholat, puasa, zakat, haji dan lain-lain. Maka, tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengingkarinya adalah kufur.
b.      Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' qath'y, seprti haramnya mengawinkan seorang gadis dan bibinya sekaligus, haramnya berdusta kepada Rasulullah saw dan lain-lain. Maka orang yang mengingkarinya juga kufur. Karena, ia mengingkari hukum syar'i yang ditetapkan oleh dalil qath'i
c.       Hukum yang ditetapkan oleh Ijma' dzanni (seperti Ijma' Sukuti), maka orang yang mengingkarinya dianggap fasiq, ahlul bid'ah dan dia tidak kufur.

Sumber dari Facebook Tazkirah
14.7.2017

No comments: