ZULHEIMY MAAMOR

Saturday, 1 August 2020

KISAH HIDUP LAKSAMANA MALAHAYATI

Kredit to: Winda A


Laksamana Malahayati (1560-1607) dari Kesultanan Aceh Darussalam sebagai perempuan pertama di dunia yang memegang jabatan militer tertinggi pada sebuah negera berdaulat. Ia, inspirasi kepada kaum perempuan, bahwa mereka bisa mencapai apapun yang diinginkan. Berbahagialah kita karena memiliki Malahayati..
Kedatangan Cornelis de Houtman ke Nusantara pada tahun 1595 dianggap sebagai titik awal penjajahan Belanda kepada bangsa Indonesia selama 350 tahun. Padahal Cornelius justru terbunuh pada pelayaran tersebut dalam pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal. Coba agan-agan googling dimana Cornelis de Houtman mati? Dan ditangan siapa? Berikut ceritanya.
KISAH HIDUP LAKSAMANA MALAHAYATI
Masa kecil Laksamana Malahayati

Malahayati adalah putri Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Muhammad Said Syah, seorang laksamana pula pada Angkatan Laut Kerajaan Aceh. Malahayati lahir tahun 1560, pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahar memerintah Kerajaan Aceh. Masa pemerintahan Sultan Alauddin berlangsung mulai tahun 1537 hingga 1568.
Sejak dahulu kala, orang Aceh dikenal sebagai penganut agama yang taat. Begitu pula halnya dengan keluarga Laksamana Mahmud Syah. Oleh karena itulah, sejak kecil Malahayati telah dididik agar selalu patuh menjalankan perintah agama. Sejak usia enam tahun, Malayahati telah mulai belajar baca tulis Al Qur’an dengan bantuan kedua orang tuanya. Menginjak usia delapan tahun, Malahayati kemudian belajar ilmu agama dengan berguru kepada Tengku Jamaludin Lam Kra, seorang ulama dan sekaligus pemimpin pesantren putri di Banda Aceh. Dua tahun kemudian diteruskannya dengan belajar di Dayah Inong (Madrasatul Banat) dan mulailah ia memperdalam ilmu figih, akidah, akhlak dan bahasa Arab. Selain itu, di rumah pun Malahayati masih menyempatkan diri belajar bahasa asing yang lain dari guru yang khusus didatangkan oleh orang tuanya. Sehingga tak heran apabila kelak kemudian hari setelah ia dewasa, bukan saja pandai berbahasa Arab tetapi juga mahir berbahasa Inggris, Perancis, Spanyol di samping bahasa Melayu dan Aceh sebagai bahasa ibunya...
Ayahnya, sering mengajaknya ke pelabuhan melihat-lihat kapal dagang dan kapal perang milik kerajaan Aceh. Malahayati sendiri menyukai hal itu. Bahkan tak jarang pula ia diajak menyaksikan latihan perang-perangan di laut yang dilakukan oleh kapal-kapal perang Aceh. Bermula dari situlah kemudian tertanam jiwa cinta lautan yang kelak kemudian hari mengantarkan Malahayati menjadi laksamana kerajaan Aceh yang disegani kawan maupun lawan.
Pada masa itu, sebagian wilayah semenanjung Malaka telah jatuh ke tangan Portugis. Bangsa Eropa itu banyak memungut keuntungan dari hasil bumi atas wilayah yang didudukinya. Bagi Aceh sendiri, kekuasaan Portugis di Malaka itu secara langsung atau tidak merupakan ancaman. Tidak menutup kemungkinan apabila Aceh lengah, Portugis akan menyerang Aceh. Kekhawatiran itu bukan saja dirasakan oleh kerajaan Aceh, tetapi juga oleh Banten.
Maka pada tahun 1575, armada perang kerajaan Aceh yang dikomando oleh Laksamana Mahmud Syah dan armada Banten yang dipimpin Pangeran Arya bin Maulana Hasanuddin menyusun kekuatan bersama dan melakukan serangan terhadap Portugis di Malaka.
Dalam pertempuran dekat pangkalan La Formosa, armada Aceh dan Banten mendapat perlawanan sengit. Laksamana Mahmud Syah gugur di atas kapal komandonya Seulawah Agam. Sebagai akibatnya, pertempuran tak dapat dilanjutkan lagi. Armada Banten menarik diri hingga sampai ke Jepara, sementara itu armada Aceh mundur sampai ke Pulau Bengkalis.
Hati Malahayati sangat terpukul dengan kepergian ayahandanya untuk selama-lamanya itu. Ia sering murung dan mengeluh. “Ah, mengapa aku lahir sebagai wanita. Andai saja aku pria, tentu aku dengan mudah menjadi laksamana dan menuntut balas kepergian ayah,” begitu Malahayati sering mengeluh. Keluh-kesahnya itu sering diutarakannya kepada gurunya, Tengku Ismail Indrapuri. Gurunya itulah yang dengan sabar dan membesarkan hatinya, memberinya nasihat-nasihat yang menggugah...
Malahayati, di hadapan Allah, manusia laki-laki dan perempuan itu sama saja karena kedua-duanya memikul amanah-Nya di bumi ini,” kata guru yang arif itu menasihati.
Kata-kata nasihat yang menggugah itulah yang akhirnya mendorong semangat Malahayati untuk bersumpah bahwa kelak apabila dewasa akan berjuang melawan penjajah.
Laksamana Malahayati Menjadi Panglima Armada Perang Aceh.
Laksamana Muda Ibrahim adalah salah seorang bawahan mendiang Laksamana Mahmud Syah. Ia ikut pula memperkuat barisan armada Aceh ketika melakukan penyerbuan terhadap Portugis di Malaka. Dengan Laksamana Muda Ibrahim itulah Malahayati dikawinkan. Ketika itu, usia Malahayati 17 tahun. Laksamana Muda Ibrahim kemudian diangkat sebagai Panglima Armada V Kerajaan Aceh oleh Sultan Mansur Syah. Sebagai seorang istri, Malahayati mengikuti suaminya pula ketika Laksamana Ibrahim harus bertugas dan berpangkalan di Pulau Rupat.
Pada suatu hari, kapal perang Aceh tengah mengadakan patroli. Ketika melayari perairan Pulau Alang Besar, patroli itu berpapasan dengan dua kapal kecil yang terapung-apung terbawa ombak tak tentu arah. Kapal kecil itu adalah pengangkut rempah-rempah dari Banten. Tetapi secara tiba-tiba kapal kecil itu dihadang oleh perahu Portugis. Mereka dipaksa menyerahkan rempah-rempah yang dibawanya sebelum sampai di tempat tujuan. Pedagang-pedagang dari Banten itu bukan tidak melawan begitu saja. Mereka melakukan perlawanan, meski harus ditebus dengan korban jiwa dan menderita luka-luka. Dua kapal kecil itulah yang berhasil selamat dan meloloskan diri. Sedang kapal-kapal yang penuh muatan rempah-rempah lainnya berhasil dirampas dan kapalnya ditenggelamkan.
Pedagang Banten itu segera ditolong. Yang luka-luka segera dirawat, sedang yang telah meninggal dimakamkan dekat pantai Pulau Alang Besar. Sementara itu pula, setelah mendapatkan laporan tentang peristiwa itu segera mengadakan pengejaran. Laksamana Muda Ibrahim memimpin pengejaran itu di atas kapal komandonya yang bernama Kuta Alam.
Enam kapal Portugis yang diduga melakukan perampasan rempah-rempah pedagang Banten itu berhasil dikejar ketika sedang melayari perairan Tanjung Parit. Orang-orang di kapal Portugis memberi isyarat menolak ketika kapal patroli Aceh mengisyaratkan untuk melakukan penggeledahan.
Maka terjadilah pertempuran laut. Laksamana Muda Ibrahim dengan dibantu istrinya, Malahayati, mengatur serta memberi aba-aba pada kapal patroli Aceh lainnya untuk bergerak dan melumpuhkan perlawanan kapal-kapal Portugis yang berjumlah 6 buah kapal itu. Di atas geladak kapal Kuta Alam, Laksamana Muda Ibrahim mengatur siasat pertempuran.
Pada saat itulah, sebuah peluru meriam kapal Portugis meledak. Laksamana Muda itu tak sempat lagi menghindar. ia terkena tembakan meriam itu dan gugur. Malahayati menghadapi kepergian selama-lamanya Laksamana Muda Ibrahim dengan hati tabah. Gugurnya Laksamana Muda Aceh itu sama sekali tak diperbolehkannya diberitahukan kepada awak kapal di kapal yang lain.
Ia tidak ingin berita gugurnya Laksamana Muda Ibrahim mengendorkan semangat juang armada Aceh. Malahayati kemudian secara diam-diam mengenakan pakaian almarhum suaminya. Ia dengan tangkas langsung mengambil alih kendali memimpin pertempuran. Hasilnya sungguh di luar dugaan! Tiga kapal Portugis berhasil ditenggelamkan. Dua kapal lainnya ditawan dan satu kapal lagi berhasil meloloskan diri dari kepungan kapal patroli Aceh.
Di pihak Aceh, satu kapal ditenggelamkan lawan, dua kapalmmengalami kerusakan ringan. Rempah-rempah yang berhasil diselamatkan kemudian diserahkan kembali kepada pedagang dari Banten.
Keberhasilan Malahayati dalam pertempuran melawan Portugis itu segera tersiar ke seluruh wilayah Aceh dan bahkan ke Banten. Sultan Maulana Yusuf dari Banten mengirim ucapan selamat atas kemenangan armada Aceh dan menyatakan pula kekagumannya kepada Malahayati. Di samping itu juga menyampaikan rasa terima kasih karena armada Aceh telah memberikan pertolongan yang begitu tulus kepada pedagang rempah-rempah Banten.
Tak kurang pula Sultan Mansur Syah atas nama rakyat Aceh menghaturkan penghargaan setinggi-tingginya atas keberhasilan Malahayati, di samping menyatakan rasa belasungkawa atas gugurnya Laksamana Muda Ibrahim.
Dua bulan kemudian, Malahayati diangkat menjadi Wakil Panglima Armada V . Panglima Armada V Aceh, ketika itu dipegang oleh Laksamana Muda Mahaja Lela. pada tahun 1581, Sultan Mansur Syah menugaskan Malahayati memimpin penyerangan ke benteng La Formosa di Malaka. Penyerangan ini melibatkan 40 buah kapal perang dengan kekuatan 10.000 orang prajurit Aceh. Dalam penyerangan ini, Malaka memang belum berhasil dikuasai oleh Aceh. Tetapi armada laut Aceh telah berhasil memporak-porandakan kekuatan kapal-kapal perang Portugis. Perairan Riau yang sebelumnya merupakan daerah rawan karena kapal-kapal Portugis sering melakukan perampasan barang-barang terhadap kapal dagang yang lewat.
Sultan Alaudin Mansur Syah menilai bahwa penyerangan armada Aceh di bawah pimpinan Malahayati itu berhasil. Itulah sebabnya maka pada tahun 1582 Sultan mengangkat Malahayati menjadi Panglima Armada V kerajaan Aceh dengan pangkat Laksamana Muda. Ketika itu, Malahayati telah menginjak usia 22 tahun.
Intrik politik di Istana Aceh Darussalam

Masa pemerintahan Sultan Alaudin Mansur Syah yang memerintah dari tahun 1577-1585 adalah masa gemilang bagi Kerajaan Aceh Darussalam. Hampir seluruh wilayah Sumatra telah menjadi wilayah kekuasaannya, di samping’Semenanjung Malaya. Hanya wilayah Malaka yang masih menjadi daerah kekuasaan Portugis. Meskipun demikian Portugis selalu merasa tidak aman dan terancam. Betapa tidak, sebab mereka selalu dihantui jangan-jangan armada Aceh menyerangnya sewaktu-waktu.
Pada masa lalu, Aceh merupakan produsen lada terbesar dunia sampai dengan abad ke-19
Hasil perkebunan lada Aceh, menempati urutan pertama di kepulauan Nusantara ketika itu. Disusul Banten dan Palembang. Maka tidak heran bila kapal-kapal dari Eropa banyak menyinggahi pelabuhan Aceh untuk membeli lada yang banyak dibutuhkan orang di daratan benua Eropa. Di samping sebagai penghasil lada yang utama, angkatan laut Aceh juga sangat disegani. Angkatan Laut inilah yang banyak berperan dalam mengamankan jalur perdagangan di Selat Malaka.
Meskipun Sultan Alauddin Mansur Syah dinilai berhasil memakmurkan rakyatnya, namun di pihak kerajaan masih ada saja orang yang tidak puas dan tidak menyukainya. Mereka adalah dari keturunan Sultan Ali Mughayat Syah yang tidak menginginkan orang dari keturunan di luar kerajaan memegang tampuk pemerintahan. Dan memang sebenarnyalah, Sultan Alauddin Mansur Syah yang tengah berkuasa saat itu, bukan keturunan dari garis Sultan Ali Mughayat Syah, melainkan putra Sultan Perak. Kisahnya bermula ketika pada tahun 1551 Sultan Alauddin Riayat Syah al Qahar mengerahkan angkatan lautnya untuk menghantam Portugis di Malaka. Ketika itu angkatan laut berkekuatan 20.000 orang.
Ketika benteng La Formosa berhasil dikepung rapat oleh Armada Laut Aceh dan menghuninya mulai kehabisan bahan makanan, Sultan Akhmad dari Kesultanan Perak menjual beras secara diam-diam kepada Portugis. Tak hanya itu, sebab apa yang dilakukan Sultan Perak itu diikuti pula Kerajaan Johor. Tentu saja sikap mereka amat menggusarkan pasukan Aceh. Maka komandan pasukan Aceh, Laksamana Abdul Jalil memerintahkan pasukannya untuk menyerang Perak dan Johor. Kedua kerajaan itu terpaksa menyerah dan berjanji tak akan melakukan hal itu terhadap Portugis. Untuk memperkuat perjanjian itu, Sultan Mansur Syah, putra Sultan Perak dibawa ke Aceh dan tinggal di Istana al Qahar.
Putra Sultan Perak itu, selama berada di Aceh memperlihatkan sikap yang baik dan juga cakap. Oleh karena itu Sultan Aceh kemudian mengawinkannya dengan putri Sultan sendiri yang bernama Ratna Indra Wangsa. Dari perkawinan itu lahirlah seorang putra yang diberi nama Perkasa Alam Syah yang kemudian bergelar Iskandar Muda Makhota Alam. Oleh karena itulah, orang Aceh yang masih mempunyai garis keturunan dari Sultan Ali Mughayat Syah tidak menyukai Sultan Mansur Syah yang dianggapnya berada di luar garis keturunan Aceh.
Kemudian timbullah gerakan-gerakan untuk menggulingkan Sultan. Gerakan ini dipimpin oleh Panglima Raja Buyung, putra Gubernur Inderapura yang bernama Munawar Syah. Waktu itu, Panglima Raja Buyung menjabat sebagai Komandan Garnizun Ibukota. Panglima. Raja Buyung kemudian mengupayakan agar Malahayati mendukung gerakannya. Maka diutusnyalah Teuku Imum Mukim Cadek, Bupati pulau Weh, menemui Laksamana Muda Malahayati dan menyampaikan hal itu.
Tapi rencana gerakan yang dipimpin Panglima Raja Buyung itu ditentang habis-habisan oleh Malahayati. Ketidaksetujuan Malahayati itu didasarkan pada kenyataan bahwa meskipun Sultan Mansur Syah keturunan Kesultanan Perak tetapi ia telah berjuang untuk memakmurkan rakyat Aceh dan apabila ia disingkirkan secara paksa, maka dapat dipastikan Kerajaan Perak dan Johor akan memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Karena upaya untuk mendapatkan dukungan itu gagal, maka Teuku Imum Mukim Cadek kembali ke ibukota dengan tangan hampa.
Tujuh hari setelah itu, Laksamana Muda Malahayati menyusul ke Banda Aceh untuk menyampaikan laporan perihal gerakan yang dipimpin Panglima Raja Buyung kepada Sultan Mansur Syah. Tetapi ketika Malahayati belum lagi sempat menemui Sultan Mansur Syah, Panglima Raja Buyung telah bergerak lebih dahulu. Sultan Mansur Syah yang berada di Kuala Aceh beserta pengikutnya ditangkap dan dibunuh. Pasukan Panglima Raja Buyung berhasil merebut istana dan ibukota. Tak luput pula. Malahayati beserta pengawalnya ditangkap dan dilucuti senjatanya. Malahayati dikenakan sebagai tahanan rumah selama 3 tahun.
Pada bulan Januari 1588, Malahayati yang dijuluki Singa Betina dari Aceh itu berhasil meloloskan diri. Ia kemudian menuju Jambo Aye tempat armada yang dipimpinnya berada. Kedatangannya disambut gembira oleh para anggota armada. Sementara itu, Laksamana Maharaja Lela yang ditunjuk Panglima Raja Buyung untuk menggantikan kedudukannya berhasil ditawan. Tiga hari setelah berhasil meloloskan diri itu, Malahayati bersama 24 kapal Armada yang dipimpinnya menuju Banda Aceh. Kekuatan armada itu bertambah lagi ketika di perairan Biereun, armada III yang dipimpin oleh Laksamana Muda Zainal Abidin Anjong bergabung pula. Laksamana Husin memimpin Armada VII yang berpangkalan di Ulee Lheu bergabung pula dengan Malahayati.
Pada bulan Maret 1588, Malahayati memberikan ultimatum agar Panglima Raja Buyung menyerah. Jika tidak, maka jalan kekerasan akan dilakukan. Ultimatum itu membuat Panglima Raja Buyung tak berkutik. Ia menyerah.
Malahayati kemudian mengambil alih kekuasaan. Seminggu kemudian, Majelis Kerajaan yang sebelumnya telah dibekukan oleh Panglima Raja Buyung, mengadakan sidang dan menetapkan Pangeran Zainal Abidin menjadi Sultan Aceh dengan gelar Sultan Alauddin Riayat Syah.
Laksamana Malahayati Vs. Kapitein Cornelis de Houtman
Empat buah kapal berbendera Belanda mendarat di pelabuhan Banten. Itu terjadi pada tahun 1596. Mereka datang untuk membeli rempah-rempah. Ke-empat kapal Belanda itu berada di bawah komando Cornelis de Houtman. Ia seorang veteran perang Belanda. Di Banten, orang-orang Belanda itu bersikap tidak bersahabat sehingga menimbulkan rasa benci bagi penduduk pribumi.
Terhadap pedagang rempah-rempah mereka memaksa membeli dengan harga rendah, sehingga menimbulkan kemarahan. Akibatnya, perkelahian tidak dapat dihindarkan lagi. Awak kapal Belanda banyak yang menemui ajal. Yang selamat segera menuju kapal dan Cornelis de Houtman akhirnya memutuskan meninggalkan pelabuhan Banten dengan tangan hampa.
Pada tahun 1598, Cornelis de Houtman datang lagi ke Indonesia. Tujuannya kali ini bukan Banten, melainkan Aceh. Cornelis de Houtman memimpin 225 awak kapal Belanda yang bernama De Leewen dan De Leewin. Mereka ke Aceh hendak membeli lada Aceh yang cukup dikenal oleh orang-orang Eropa.
Kedatangan orang-orang Belanda diterima dengan baik. Bahkan Sultan Aceh, mengundang mereka keistana dengan acara jamuan resmi. Dalam jamuan itulah Sultan Aceh memberikan izin kepada orang-orang Belanda itu untuk membeli lada dari Aceh.
Beberapa hari setelah acara jamuan itu, Laksamana Malahayati menuju pelabuhan untuk meninjau kapal-kapal Belanda. Tetapi kejadian yang pernah dilakukan orang-orang Belanda dua tahun sebelumnya terhadap orang-orang Banten terulang lagi. Mereka tidak menunjukkan sikap bersahabat. Terjadilah perang mulut dan akhirnya saling baku hantam. Pada saat itulah Cornelis de Houtman tiba-tiba mencabut pedangnya dan diarahkan ke tubuh syahbandar pelabuhan Aceh. Dalam waktu yang bersamaan, Malahayati secepat kilat mencabut rencongnya, dan tak ayal lagi senjata itu menembus dada Belanda yang congkak itu. Perkelahian terbuka segera saja meletus. Namun karena kekuatan tidak seimbang, Malahayati bersama pengikutnya terpaksa menyelamatkan diri dengan menceburkan diri ke laut. Belanda semakin menunjukkan kecongkakannya dengan memberondongkan peluru-peluru meriamnya. Setelah berhasil selamat, Laksamana Malahayati segera melakukan pengepungan terhadap kapal-kapal Belanda itu. Kapal De Leewin yang berhasil ke luar dari pelabuhan segera dihujani peluru meriam. Kapal itu terbakar dan tenggelam. Sementara itu kapal De Leeuwen yang mencoba menyelamatkan diri menuju laut lepas dapat ditangkap dan diseret kembali ke pelabuhan Aceh.
Dalam peristiwa itu, sebanyak 30 awak kapal Belanda ditawan. Salah seorang di antaranya bernama Frederick de Houtman, orang kedua pada rombongan kapal Belanda itu sebagai wakil Cornelis de Houtman yang telah terbunuh.
Awak kapal Belanda itu, akhirnya dihadapkan ke pangadilan. Sebagai pembela ditunjuk Teuku Lam Gugob dan Teuku Imuem Ateuk. Yang menarik, ternyata Malahayati memohon izin Sultan Aceh untuk diizinkan menjadi pembela pula. Permohonan Malahayati dikabulkan. Jadilah ia pembela orang-orang Belanda itu di pengadilan.
Setelah melalui beberapa kali sidang, akhirnya hakim menjatuhkan hukuman mati terhadap 30 awak kapal Belanda yang diadili. Menurut hakim, mereka terbukti melakukan kekacauan di negeri orang dan tidak menghormati kedaulatan suatu negeri.
Terhadap hukuman mati itu, Malahayati mengadakan pembelaan yang gigih. Dikatakannya, bahwa tindakan orang-orang Belanda itu merupakan hal yang tidak direncanakan. Bila hukuman mati terpaksa dilakukan, maka Aceh akan menerima akibatnya. Sebab saat itu Aceh sendiri sedang mengadakan dan menjalin hubungan dengan beberapa negara di Eropa. Hukuman mati akan merenggangkan hubungan Aceh dengan negara Eropa. Dalam pembelaannya, Malahayati mengusulkan agar hukuman mati itu diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Ternyata pembelaan Malahayati itu disetujui oleh sidang. Maka hukuman mati itupun diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Laksamana Malahayati sebagai seorang negarawan

Laksamana Malahayati selain ahli mengatur siasat dalam bertempur juga seorang ahli kenegaraan. Ia menguasai bahasa Inggris, Perancis, Belanda dan juga bahasa Spanyol. Oleh karena itulah Sultan Aceh mengangkatnya pula sebagai pejabat yang mengurus perutusan-perutusan baik di dalam negeri maupun yang keluar negeri. Berkenaan dengan tugas itulah, maka jika ada utusan dari negeri lain yang datang ke Aceh, maka sebelum menghadap Sultan Aceh utusan itu harus terlebih dahulu menemui Malahayati. Sultan Aceh bahkan sering meminta pendapat Malahayati sebelum mengambil suatu keputusan yang berkaitan dengan hubungan negeri lain.
Kejadian yang menimpa Cornelis de Houtman beserta anak buahnya di Aceh, amat menggemparkan kerajaan Belanda. Prins Mauris, raja kerajaan Belanda ketika itu langsung mengadakan sidang kerajaan untuk membicarakan kejadian itu. Dalam sidang kerajaan itu sedikit terjadi silang pendapat. Ada pihak yang mengusulkan agar kerajaan mengirimkan prajurit dan armadanya untuk menggempur Aceh. Namun di pihak lain, menyatakan ketidaksetujuannya. Alasannya, jika Belanda menyerang Aceh, pastilah pihak Aceh akan menutup perairan Selat Malaka bagi pelayaran kapal-kapal Belanda. Jika hal itu terjadi, kerajaan Belanda akan menanggung kerugian yang besar.
Akhirnya diputuskan, bahwa satu-satunya jalan yang terbaik ialah meminta maaf kepada kerajaan Aceh di samping memohon agar para tawanan yang telah dihukum di Aceh dapat dibebaskan dari hukuman.
Prins Mauris segera mengutus Laksamana Laurens Bicker ke Aceh. Utusan itu membawa surat khusus dari raja Belanda untuk Sultan Aceh. Di samping itu utusan itu juga membawa hadiah-hadiah untuk kerajaan Aceh sebagai tanda persahabatan.
Ketika utusan Belanda yang terdiri dari empat kapal itu sampai di perairan Aceh, kapal-kapal itu segera saja dikepung oleh armada Aceh. Armada Aceh tidak menginginkan kejadian yang menimpa Cornelis de Houtman terulang lagi. Oleh karena itu setiap kapal Belanda yang datang, perlu dicurigai. Laksamana Lauren Bicker beserta lima pembantunya terpaksa turun ke darat dengan pengawalan yang ketat. Mereka dibawa menghadap Laksamana Malahayati. Tamu asing itu diterima dengan senang hati oleh Malahayati. Apalagi ketika tamu asing itu menyatakan maksud damai dan melupakan kejadian yang dialami Cornelis de Houtman.
Atas saran Laksamana Malahayati, Sultan Aceh bersedia menerima ajakan damai kerajaan Belanda. Di samping itu, kapal-kapal Belanda diperbolehkan pula berdagang dengan orang-orang Aceh. Pengikut Cornelis de Houtman yang dihukum di Aceh juga diberikan keringanan dengan membebaskan mereka dari hukuman. Dengan demikian, mereka dapat ikut kembali ke negeri Belanda bersama Laksamana Lauren Bicker. Ketika itu, di samping menjalin kerjasama dan persahabatan dengan kerajaan Belanda, Aceh juga menjalin hal yang sama dengan negara lain seperti Inggris yang ketika itu diperintah oleh ratu Elizabeth I. Demikian pula halnya dengan negeri Cina, Burma, Siam, Jepang, India serta Turki, kerajaan Aceh menjalin persahabatan yang saling menguntungkan...
Copy and paste from FB
1 August 2020 / 11 Zulhijjah 2441H: 10.47 am

No comments:

Post a Comment