ZULHEIMY MAAMOR

Wednesday, 13 December 2017

KURANGI TIDUR DAN BANYAKKAN BERDZIKIR

Tidur memang misteri. Sebagaian sufi mampu menjadikan tidur sebagai dzikir. Tapi, hatinya tetap terjaga dan sadar bahwa dia sedang bertawajjuh kepada Allah. Namun bagi Salik, memperbanyak tidur dan tidak berdzikir justru hanya menimbulkan sifat malas, serta dapat melalaikannya dari amalan-amalan sunah di malam hari, seperti shalat dan dzikir.

Maka dari itu, wajar saja jika Rasulullah menganjurkan kita untuk mendirikan shalat di malam hari, berdzikir, bermunajat, tafakur dan mengerjakan amalan nawafil agar kita selalu terjaga dan mampu menumbuhkan sifat kemalaikatan dalam diri. Mereka yang kuat shalat dan dzikir di malam hari adalah orang yang hatinya senantiasa terjaga dan mampu menahan kantuk agar dirinya selalu menghadap Allah.

Penjelasan dan nasihat Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tentang mengurangi kebiasaan tidur dapat menjadi pelajaran berharga. Ini adalah riyadhah yang harus dijalani para salik.

Syekh Abdul-Qadir Al-Jailani qaddasallahu sirrahu mengatakan: 
"Barangsiapa yang memilih tidur dan mengalahkan hal-hal yang dapat menyebabkan keterjagaan, sungguh dia telah memilih sesuatu yang paling kurang, paling rendah, pertemuan dengan kematian, serta melalaikan seluruh kemaslahatan. 

Karena sesungguhnya, tidur adalah saudaranya kematian. Karena alasan inilah, sifat tidur itu tidak boleh melekat pada Dzat Allah swt, karena di dalamnya terdapat semua sifat-sifat kekurangan.

Begitu juga para malaikat, karena kedekatan mereka kepada Allah swt, maka sifat tidur dinafikan dalam diri mereka. Begitu juga penghuni surga, karena mereka berada di tempat yang paling tinggi, paling suci, paling berharga, dan paling mulia, maka sifat tidur juga dinafikan dari dalam diri mereka semua.

Karena sifat tidur itu adalah sifat yang menunjukkan kekurangan di dalam keadaan mereka. Maka, kebaikan yang paling sempurna adalah di dalam keadaan sadar. Adapun keburukan yang sempurna itu terdapat dalam sifat tidur dan lalai. Maka, barangsiapa yang makan dengan menuruti hawa nafsu, dia akan banyak makan, banyak minum, banyak tidur dengan waktu yang sangat lama, dan dia akan menyesal dan akan kehilangan banyak kebaikan.

Barangsiapa yang makan sedikit dari barang haram itu seperti orang yang makan barang yang halal, tetapi banyak dengan menuruti hawa nafsunya. Karena sesungguhnya, barang yang haram itu akan menutupi keimanan dan membuatnya menjadi gelap, sebagaimana arak itu dapat menutupi akal dan membuatnya menjadi gelap.

Apabila keimanan sudah menjadi gelap, tidak akan ada lagi shalat, ibadah, dan keikhlasan yang baik. Barangsiapa makan barang halal dalam jumlah yang banyak karena adanya perintah, dia seperti orang yang makan barang halal dengan jumlah sedikit, dan kuat menunaikan ibadah.

Barang yang halal itu ibarat cahaya di dalam cahaya. Adapun barang yang haram itu ibarat kegelapan di dalam kegelapan. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Makan makanan yang halal dengan menuruti hawa nafsu tanpa adanya perintah dan makan makanan yang haram itu dapat menyebabkan cepat tidur. Dengan demikian, tidak ada kebaikan di dalamnya.”

(Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitab Futuhul-Ghaib)

No comments:

Post a Comment